Spirit Yang Letoy

4 Jan 2017

Saya ingat waktu jamannya masih muda, saya begitu bersemangat kalau ada kegiatan di gereja.  Saking semangatnya saya sampai malas untuk pulang.  Mau capek mau nggak, sepulang kerja saya sempatkan untuk datang walau hanya sekedar berhalo-halo dengan teman-teman.  Waktu itu, masa muda sangat terasa begitu indahnya.  Saya begitu menikmati kecintaan saya kepada Tuhan di dalam kepenatan saya.
 
Seiring berjalannya waktu, saya sering kehilangan semangat.  Semenjak menikah dan punya anak hanya sekali sekala saja saya melibatkan diri dalam kegiatan menggereja.  Itu pun karena ada beberapa teman yang tidak bosan-bosannya mengajak karena mereka tahu bahwa saya bukan tipe orang yang bisa menolak. Dan saya memang tidak pernah bisa menolak.
 
Perlahan tapi pasti, dengan alasan memberikan kesempatan kepada mereka yang lebih muda untuk berkarya, saya (dan suami) mencoba untuk menjauh dari segala hiruk pikuk dan berbagai macam kegiatan gerejawi.  Kami sepakat menjadi penonton.  Kami adalah sebagian penonton yang menonton berbagai macam pernak-pernak drama seri yang dipertontonkan oleh sebagian orang yang terlihat begitu lebay dalam menunjukkan keterlibatannya di gereja. Saking lebaynya sampai2 banyak terjadi pelanggaran liturgi tanpa ada koreksi dari romo paroki.
 
Terkadang saya merasa sepertinya ada yang salah.  Setiap melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya, saya hanya bisa berkomentar dalam hati atau kalau perlu berkomentar berdua bersama suami.   Sebenarnya mulut ini gatal mau mengomentari.  Tapi karena komitmen untuk tidak mau terlibat terlalu jauh saya ya diam saja.  Saya tahu bahwa ini juga salah.  Seharusnya saya tidak boleh hanya diam saja melihat sesuatu yang salah. Lha kalau romo parokinya yang sekolah tinggi2 saja diam seribu bahasa masa saya harus berkomentar sih?
 
Jujur saja, spirit yang letoy ini membutuhkan banyak penyegaran.  Itu sebabnya saya mulai untuk melibatkan diri lagi, meskipun baru dimulai dari tingkatan paling bawah: level komunitas.  Biarlah saya mulai menyegarkan diri lagi di tengah-tengah saudara satu komunitas.  Siapa tahu selain mendapatkan penyegaran sekaligus bisa mendapatkan pencerahan.

Hanya saja ketika kami berdua mulai menampakkan batang hidung, mulailah terdengar suara-suara: "Cieee....cieee......para sesepuh turun gunung nih yeee........!"

Dan saya hanya bisa nyengir kuda.  Biarlah saya yang nyengir kuda, asalkan jangan kuda yang nyengir mirip saya.....!

#Tuhan, tinggallah di dalam diriku....amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS