Escape

21 Mei 2020

Escape!  Terjemahan bebasnya: melarikan diri; meloloskan diri.  Minggat menurut aku!  Minggat dari apa?  Entah.  Aku sendiri juga bingung menjawabnya.  Yang jelas terkadang aku ingin melarikan diri dari sesuatu.  Kesibukan.  Kebisingan.  Hiruk pikuk.  Berharap bisa duduk tenang tanpa perlu memikirkan apa pun juga.  Mungkin hanya perlu membaca setumpuk buku.  Atau melukis dengan cat air seperti masa kecilku dulu.  Atau nonton channel criminal di televisi seperti yang lalu-lalu.  Tapi ya begitulah.  Yang namanya angan-angan itu kan belum tentu harus sesuai dengan kenyataan.  Dengan segala keinginan yang berkecamuk dan sekian banyak rencana yang dituliskan, ujung-ujungnya hanya satu saja yang diwujudkan: tidur!

Pernah di suatu masa dulu, dulu sekali, aku merasa Tuhan telah berteriak kencang memanggilku. Memanggilku untuk pergi jauh dan melakukan sesuatu untuk orang lain.  Pergi ke Asmat itu salah satu di antaranya.  Dan tentu saja aku sangat bersemangat untuk menanggapi panggilanNya.  Kutinggalkan pekerjaan.  Kuputuskan dan coba kubuang banyak kenangan indah.  Hanya untuk mengatakan kepadaNya “Aku serius, Tuhan.  Aku mau!”.  Eh, ternyata Tuhan waktu itu hanya salah panggil saja. Aku di PHP-in. Setelah dua setengah tahun, Dia memberikan kejutan bahwa bukan aku yang dipanggilNya.  Ada kesalahan panggilan.  Dan ada kesalahan administratif berkaitan dengan kesehatan.  Tesku tidak lolos.  Badanku keropos.  Aku penyakitan.  Jadi terpaksa Tuhan memilih lain orang yang lebih sehat dan lebih kuat.

Terus aku frustasi.  Putus asa.  Aduh, bagaimana ini Tuhan?  Bagaimana aku bisa makan sementara pekerjaan sudah lama kulepaskan?  Bagaimana aku bisa menghidupi orang lain jika menghidupi diri sendiri saja aku tidak mampu?  Bagaimana ini?  Dan seperti manusia-manusia lebay lainnya aku pun menangis berhari-hari meratapi nasibku.  Padahal kurasa Tuhan bingung juga menatapku waktu itu.  “Mengapalah dia ini menangis seperti itu?” mungkin begitulah pikirNya kira-kira.    Padahal waktu itu aku sudah mendapat pekerjaan baru.  Mendapat tawaran sekolah tinggi yang kutolak mentah-mentah karena aku sudah kehilangan selera.  Ah, yang namanya kecewa itu ya memang demikian.  Tidak mampu berpikir panjang untuk sesuatu yang mungkin akan terlihat lebih terang dan indah.

Dan akhirnya aku memang dipanggil lagi.  Di jalan yang berbeda tapi dengan tujuan yang sama.  Panggilan yang lebih rumit dan serba complicated.  Panggilan untuk hidup berkeluarga dan menjadi tiang penyanggah gereja.  Membentuk gereja kecil di rumah.  Berbaur dengan keluarga-keluarga kecil lainnya untuk mengetahui gambaran panggilan ini seperti apa.  Ternyata mau berkeluarga atau tidak berkeluarga, yang namanya panggilan itu sama rumitnya.  Harus ada komitmen.  Harus konsisten.  Harus mau berkurban apa pun cara dan bentuknya.  Semua bermuara ke arah yang sama.  Jadi kurasa keluh kesahku dulu hanyalah sia-sia.

Sekarang ini, karena terlalu asyik dengan panggilan ini dan panggilan itu, sampai-sampai aku merasa stagnan.  Merasa berjalan di tempat. Aku berusaha untuk membantu perkembangan iman orang lain, sementara imanku sendiri megap-megap.  Seperti orang yang tengah sekarat dan kehabisan udara untuk bernafas.  Aku berusaha untuk menjalani hidup sesuai yang seharusnya, menurutku, tapi semakin lama terasa semakin ingin melarikan diri.  Pengin escape.  Kabur dari segala keriuhan hari dan banyaknya kegiatan.  Tapi itulah, semakin aku ingin menghilang semakin kuat Tuhan berteriak memanggilku.  Mungkin Tuhan tidak mau aku hilang seperti dulu-dulu.

Tiba-tiba saja aku merindukan Gedono.  Merindukan keheningan.  Merindukan malam kelam dan datangnya fajar dengan diiringi denting embun di dedaunan.  Merindukan bekunya tubuh karena berbasuh air pegunungan.  Hanya untuk sekedar supaya mata ini terbuka dan tidak terkantuk semata.  Ah, kapankah lagi aku bisa mewujudkan mimpiku?  Adakah Tuhan memang menungguku di tempat-tempat seperti itu?  Tapi bukankah Dia pun sering kutemukan di berbagai tempat yang riuh rendah dan penuh dengan canda tawa?  Ah, Tuhan.  PanggilanMu terkadang sungguh membingungkan.   Membuatku terasa seperti mati segan hidup tak mau. 

Meskipun panggilan Tuhan itu sering membingungkan, aku berusaha untuk tidak menyerah.  Tidak boleh menyerah.  Harus belajar untuk menata ulang hidup.  Belajar untuk menata rasa pelan-pelan.  Meskipun situasi dan kondisi seringkali tidak mendukung, kembali ke keheningan sekali-kali kurasa tidaklah menyakitkan.  Bisa jadi itu obat yang menyembuhkan.  Meditasi, kontemplasi, membaca lagi, adalah berbagai macam cara panggilan yang harus dirayakan, bukan untuk ditinggal minggat.  Tuhan, tolong topang aku, karena sungguh aku tak mampu berjalan sendirian!

#19 Jan 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS