Pernah di suatu masa dulu, dulu sekali,
aku merasa Tuhan telah berteriak kencang memanggilku. Memanggilku untuk pergi
jauh dan melakukan sesuatu untuk orang lain.
Pergi ke Asmat itu salah satu di antaranya. Dan tentu saja aku sangat bersemangat untuk
menanggapi panggilanNya. Kutinggalkan
pekerjaan. Kuputuskan dan coba kubuang
banyak kenangan indah. Hanya untuk
mengatakan kepadaNya “Aku serius, Tuhan.
Aku mau!”. Eh, ternyata Tuhan
waktu itu hanya salah panggil saja. Aku di PHP-in.
Setelah dua setengah tahun, Dia memberikan kejutan bahwa bukan aku yang
dipanggilNya. Ada kesalahan panggilan. Dan ada kesalahan administratif berkaitan
dengan kesehatan. Tesku tidak
lolos. Badanku keropos. Aku penyakitan. Jadi terpaksa Tuhan memilih lain orang yang
lebih sehat dan lebih kuat.
Terus aku frustasi. Putus asa.
Aduh, bagaimana ini Tuhan?
Bagaimana aku bisa makan sementara pekerjaan sudah lama kulepaskan? Bagaimana aku bisa menghidupi orang lain jika
menghidupi diri sendiri saja aku tidak mampu?
Bagaimana ini? Dan seperti
manusia-manusia lebay lainnya aku pun
menangis berhari-hari meratapi nasibku.
Padahal kurasa Tuhan bingung juga menatapku waktu itu. “Mengapalah dia ini menangis seperti itu?”
mungkin begitulah pikirNya kira-kira.
Padahal waktu itu aku sudah mendapat pekerjaan baru. Mendapat tawaran sekolah tinggi yang kutolak
mentah-mentah karena aku sudah kehilangan selera. Ah, yang namanya kecewa itu ya memang
demikian. Tidak mampu berpikir panjang
untuk sesuatu yang mungkin akan terlihat lebih terang dan indah.
Dan akhirnya aku memang dipanggil lagi. Di jalan yang berbeda tapi dengan tujuan yang
sama. Panggilan yang lebih rumit dan
serba complicated. Panggilan untuk hidup berkeluarga dan menjadi
tiang penyanggah gereja. Membentuk
gereja kecil di rumah. Berbaur dengan
keluarga-keluarga kecil lainnya untuk mengetahui gambaran panggilan ini seperti
apa. Ternyata mau berkeluarga atau tidak
berkeluarga, yang namanya panggilan itu sama rumitnya. Harus ada komitmen. Harus konsisten. Harus mau berkurban apa pun cara dan
bentuknya. Semua bermuara ke arah yang
sama. Jadi kurasa keluh kesahku dulu
hanyalah sia-sia.
Sekarang ini, karena terlalu asyik
dengan panggilan ini dan panggilan itu, sampai-sampai aku merasa stagnan.
Merasa berjalan di tempat. Aku berusaha untuk membantu perkembangan iman
orang lain, sementara imanku sendiri megap-megap. Seperti orang yang tengah sekarat dan
kehabisan udara untuk bernafas. Aku
berusaha untuk menjalani hidup sesuai yang seharusnya, menurutku, tapi semakin
lama terasa semakin ingin melarikan diri.
Pengin escape. Kabur dari segala keriuhan hari dan banyaknya
kegiatan. Tapi itulah, semakin aku ingin
menghilang semakin kuat Tuhan berteriak memanggilku. Mungkin Tuhan tidak mau aku hilang seperti
dulu-dulu.
Tiba-tiba saja aku merindukan
Gedono. Merindukan keheningan. Merindukan malam kelam dan datangnya fajar
dengan diiringi denting embun di dedaunan.
Merindukan bekunya tubuh karena berbasuh air pegunungan. Hanya untuk sekedar supaya mata ini terbuka
dan tidak terkantuk semata. Ah, kapankah
lagi aku bisa mewujudkan mimpiku? Adakah
Tuhan memang menungguku di tempat-tempat seperti itu? Tapi bukankah Dia pun sering kutemukan di
berbagai tempat yang riuh rendah dan penuh dengan canda tawa? Ah, Tuhan.
PanggilanMu terkadang sungguh membingungkan. Membuatku terasa seperti mati segan hidup tak
mau.
Meskipun panggilan Tuhan itu sering
membingungkan, aku berusaha untuk tidak menyerah. Tidak boleh menyerah. Harus belajar untuk menata ulang hidup. Belajar untuk menata rasa pelan-pelan. Meskipun situasi dan kondisi seringkali tidak
mendukung, kembali ke keheningan sekali-kali kurasa tidaklah menyakitkan. Bisa jadi itu obat yang menyembuhkan. Meditasi, kontemplasi, membaca lagi, adalah
berbagai macam cara panggilan yang harus dirayakan, bukan untuk ditinggal
minggat. Tuhan, tolong topang aku,
karena sungguh aku tak mampu berjalan sendirian!
#19 Jan 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar